Di pertengahan sampai menjelang akhir tahun 2017, kita dikejutkan dengan tingkah polah ISIS di Marawi, Filipina. Kelompok-kelompok lokal yang telah berbaiat kepada ISIS melancarkan aksinya, mengubah Marawi menjadi medan tempur setelah pusatnya di Timur Tengah digempur habis-habisan. Sungguh mengejutkan bagi kita semua, ternyata ISIS sudah mengincar Asia Tenggara dan siap mendirikan wilayah basisnya. Meskipun akhirnya mampu diredam oleh Angkatan Bersenjata Filipina. Jarak yang berdekatan antara Filipina dan Indonesia membuat kita khawatir waktu itu.
Masih belum padam di benak kita terkait teror ISIS di Marawi, Filipina. Saat ini, kita, bangsa Indonesia, dihebohkan dengan kericuhan napi teroris dan teror bom bunuh diri, dimana mereka para pelaku termasuk kelompok lokal yang telah berbaiat kepada ISIS. Pihak berwenang masih dalam proses investigasi dan berjibaku mencegah aksi-aksi serupa yang dikhawatirkan masih berlanjut di tengah belum rampungnya RUU Anti-Terorisme. Tentunya seluruh bangsa ini akan terluka lagi manakala kejadian seperti kemarin terulang.
Kita tentu dan pastinya sangat setuju jika kegiatan teror, pengeboman, pembunuhan dan pengrusakan merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama dan kepercayaan apapun dan di mana pun. Lantas apa motivasi mereka melakukan itu?,
Beberapa pihak menganggap bahwa aksi teror tersebut dilakukan oleh orang yang tak beragama, dan beberapa pihak pun “berkoar” di media sosial bahwa aksi tersebut sebaiknya tidak dikaitkan dengan agama apa pun. Anggapan dari “beberapa pihak” tersebut adalah salah besar, karena para pelaku teror bom dan mereka yang berbaiat kepada ISIS adalah beragama Islam. Kita sebagai umat Islam harus berani jujur bahwa mereka para pelaku adalah juga beragama Islam yang beragama dengan pemahaman yang sesat dan menyesatkan. Bahkan menurut hemat penulis, para pelaku teror bom dan kelompok-kelompok lokal yang berafiliasi dengan ISIS adalah pelaku penodaan agama Islam, penodaan Al-Quran dan penodaan terhadap Nabi Muhammad SAW sesungguhnya. Semoga saja ada demo berjuta-juta umat Islam menentang penodaan agama oleh teroris.
Kemudian bagi “pihak” yang menganggap bahwa kejadian teror di Surabaya pada tanggal 13 dan 14 Mei 2018 adalah rekayasa belaka. Maka menurut hemat penulis, “pihak” tersebut yang menganggap demikian walaupun belum berkata-kata merupakan “pihak” yang ikut melegalkan amaliah sesat dan menyimpang dari pelaku teror tersebut. Kita harus akui, bahwa para pelaku teror adalah menyimpang dari Islam. Upaya teror terhadap suatu tatanan baik itu bermasyarakat maupun beragama sebenarnya sudah terjadi sejak lama, sejak jaman Sayyidina Ali Bin Abi Thalib. Ya, kita mungkin ingat bahwa Ibnu Muljam, seorang Islam dengan ibadahnya yang rajin, telah membunuh Sayyidina Ali. Menurut hemat penulis, mereka para pelaku teror bom adalah generasi Ibnu Muljam jaman kekinian. Mereka adalah generasi yang mungkin akan wafat dalam kondisi su’ul khotimah, bukan khusnul khotimah.
Menurut penulis, sudah saatnya “pihak” yang menganggap upaya teror bom kemarin adalah rekayasa penyudutan Islam untuk jujur dan legowo bahwa mereka para pelaku lah yang telah mengkerdilkan Islam, dikarenakan mereka beragama Islam dengan pemikiran menyimpang dan sesat. Perlu diingat dan sebagai bahan otokritik kita sebagai umat Islam, bahwa Islam bisa besar atau justru kerdil tergantung kita, kita sebagai umat.
Apabila kita semua jujur, maka kita sebagai umat Islam di Indonesia yang notabene mayoritas memiliki tanggung jawab besar terhadap upaya-upaya memutus mata rantai calon-calon teroris atau generasi Ibnu Muljam di masa kini dan mendatang. Sehingga tercipta umat Islam yang benar-benar beragama Islam yang Rahmatan Lil Alamin.
Akhir kata, penulis sebenarnya sudah teramat geram dengan ulah para oknum umat Islam yang berjalan menyimpang, melegalkan kekerasan, kerusakan dan pembunuhan nyawa-nyawa manusia yang dianggap tidak sependapat dengan mereka, serta mereka yang mengajarkan ujaran dan ajaran “kebencian” baik di dunia maya maupun dunia nyata (di kehidupan sosial bermasyarakat atupun juga melalui pengajian bertemakan agama), indoktrinasi dengan kata-kata “thoghut, bunuh, bakar, darahnya halal”, dan lain sebagainya yang jauh dari ajaran Islam yang disampaikan oleh Rosulullah. Kita harus legowo dan mengakui jika praktek-praktek tersebut ada di sekitar kita, dan sudah saatnya kita semua bertindak tegas atas praktek-praktek yang memberi celah pada terbentuknya generasi Ibnu Muljam masa kini.
Salam,
Penulis
Komentar
Posting Komentar