Langsung ke konten utama

Fotografi Dengan Kamera Film


Saat ini, hampir setiap orang memiliki kamera, dan mayoritas berbentuk kamera digital, entah itu di smartphone, dalam bentuk DSLR, mirrorless camera, prosumer camera atau pun pocket camera. Bermacam-macam juga jenis dan kamera digital non-smartphone yang beredar di pasaran, dari yang level pemula sampai profesional. Bisa dibilang bahwa kamera digital merupakan alat yang praktis untuk menangkap gambar saat ini jika dibandingkan dengan kamera film. Di jaman digital ini, fungsi film dalam fotografi telah digantikan dengan sensor kamera digital dan penyimpanan gambar dalam format digital. Fotografer tidak perlu merasa ribet ketika akan melihat hasil gambar yang telah diambil. 

Dalam perkembangannya, jelas kamera film muncul sebelum kehadiran kamera digital. Antara kamera film dan digital memiliki prinsip, aturan dan teknik yang sama. Perbedaan antara kedua kamera tersebut seperti yang telah disebutkan di paragraf atas, yakni antara film dan sensor. Jika kita menggunakan kamera digital, maka kita dapat dengan mudah mengatur ISO sedangkan di kamera film, ISO yang kita gunakan adalah sesuai dengan film yang kita gunakan, sehingga kita tidak bisa dengan mudah mengubah ISO. Jika ingin mengubah ISO, maka ada dua hal yang dapat kita lakukan, yaitu menunggu film habis dan kita mengganti dengan roll film berikutnya dengan ISO berbeda atau kita menyiapkan lebih dari satu kamera dengan film yang ISO-nya berbeda-beda.

Jika kamera digital saat ini sudah umum kita temui, maka sebaliknya, kamera film menjadi barang yang hampir langka. Meskipun langka, animo masyarakat dan trend penggunaan atau hobi kamera film akhir-akhir ini mulai meningkat. Apabila kita amati di media sosial seperti Instagram, maka akun-akun pengguna kamera film semakin banyak (menurut hemat penulis). Selain itu, kamera-kamera film yang dijual oleh pedagang-pedagang online baik di Instagram atau Facebook ataupun toko online selalu cepat habis terjual. Para penghobi kamera film saat ini umumnya adalah usia muda, dan menurut hemat penulis, sebagian penghobi adalah mereka yang dulunya pernah berinteraksi dan merasakan kamera film, sedangkan sebagian lainnya baru mencoba (bahkan bisa dibilang kamera film mungkin sesuatu yang baru bagi mereka, terutama generasi yang lahir di atas tahun 2000).

Apabila di kamera digital, kualitas gambar salah satunya ditentukan oleh sensor di masing-masing kamera digital tersebut (jika penulis tidak salah), sedangkan kualitas gambar di kamera film salah satunya ditentukan oleh film yang digunakan. Misalnya, film Kodak Color Plus tentu akan berbeda kualitas gambarnya dengan film Kodak Gold. Intinya, tiap-tiap roll film memiliki keunikan dan kekhasan gambar tersendiri. Menurut penulis, film adalah nyawanya kamera film atau kamera analog, dan inilah keunikan kamera film jika dibandingkan dengan kamera digital.

Selain itu, lebih unik lagi dari kamera film atau kamera analog ini adalah kita wajib memproses film setelah selesai memotret. Berbeda jauh dengan kamera digital, proses yang dimaksud adalah proses mencuci atau develop film di kamar gelap. Jika tidak diproses, kita tidak akan mengetahui hasil gambar yang sudah kita ambil. Develop film dapat kita lakukan sendiri dengan menggunakan zat-zat kimia tertentu atau pun dapat melalui jasa lab cuci film. Dan uniknya lagi, tapi juga bikin nyesek, saat ini lab cuci film sudah sangat sedikit atau bisa dibilang langka, mungkin dapat dihitung dengan jari. Bahkan bisa jadi di satu kota sudah tidak terdapat lab cuci film, sehingga fotografer harus mengirimkan roll film-nya ke lab cuci film di kota lainnya. 

Akhir kata, ketika kita memiliki niat dan kegembiraan dalam fotografi atau pun niat dalam berkesenian dan juga memberikan informasi visual yang bermanfaat bagi masyarakat umum, maka kita tidak usah memikirkan kamera apa yang kita gunakan. Karena menurut penulis, fotografi sendiri adalah suatu praktik berkesenian dan ilmiah untuk merekam dan menyajikan informasi mengenai seni, budaya, dan ilmu pengetahuan dengan bermediakan kamera. 

Harapan penulis, dengan semakin meningkatnya animo masyarakat akan kamera film atau kamera analog, dunia fotografi di Indonesia semakin berjaya dan juga semoga semakin banyak lab-lab cuci film di tengah-tengah masyarakat yang masih membutuhkan banyak literasi visual dari dunia fotografi.

Salam Mlaku-Mlaku,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shutter Healing #01 : Bersepeda Memotret Suasana Bekasi Sebelum Lebaran

Shutter healing merupakan istilah yang saya ciptakan dimana menekan tombol shutter merupakan salah satu bentuk healing dan aktivitas yang membahagiakan. Bagi saya, ada dua bentuk healing yang paling membahagiakan; yaitu bersepeda dan memotret. Oleh karena itu, memotret dengan menekan tombol shutter disertai dengan bersepeda sudah pasti meningkatkan gairah kebahagiaan saya. Shutter healing episode 01 ini dilakukan di kota Bekasi dengan bersepeda menggunakan sepeda lipat keliling kota Bekasi. Kenapa sepeda lipat?, karena ada suasana santai saat bersepeda dengan sepeda lipat, dimana saya bisa menengok kanan dan kiri. Ketika ada sesuatu yang bagus dan unik, ambil kamera, bidik, tekan tombol shutter dan "jepret", gambar peristiwa terekam. Beberapa foto telah saya rekam pada episode shutter healing tanggal 9 April 2024. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1, dimana kamera ini sudah berumur sangat tua, pertama release pada tahun 2010. Kamera tua tidak masalah bagi saya,

Pengalaman Pertama Kali Develop Film Black And White

Memotret dengan kamera film atau analog dibutuhkan kesabaran tersendiri, pasalnya setelah selesai memotret, kita tidak bisa melihat gambar hasil jepretan seperti pada kamera digital. Untuk dapat melihat hasil jepretan, fotografer diwajibkan mencuci atau develop film terlebih dahulu untuk selanjutnya dilakukan scan untuk merubah gambar menjadi format digital ataupun langsung dicetak ke dalam kertas foto. Di kesempatan ini, penulis mencoba memotret di kawasan Mutiara Gading Timur, Bekasi, menggunakan kamera Fujica 35 FS dengan film roll Fujifilm Neopan SS ISO 100 yang sudah expired tahun 2007. Fujifilm Neopan SS merupakan film negatif black and white dengan 36 exposure. Setelah menghabiskan 36 frame dalam satu hari, penulis kemudian mencoba untuk melakukan develop film sendiri dan develop film negatif black and white  kali ini merupakan pertama kali yang penulis lakukan. Tiada rotan akar pun jadi, pepatah ini akhirnya terpakai, dimana penulis merubah kamar mandi menjadi kamar gelap.

Shutter Healing #2 : Memotret Bekasi Setelah Lebaran

Shutter healing pada tanggal 14 April 2024 saya lakukan dengan menyusuri kota Bekasi dengan menggunakan sepeda lipat. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1 yang merupakan kamera mirrorless lawas. Beberapa hasil jepretan dalam shutter healing diantaranya adalah : Seorang pengendara motor melewati jalan HM. Joyomartono, kota Bekasi (14/4/24). Suasana di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melaju di Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Seorang pejalan kaki di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melalui Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara kendaraan bermotor melalui Jl. Pengairan dan Jl. Villa Raya, kota Bekasi (14/4/24). Pejalan kaki melalui Jl. Ahmad Yani, kota Bekasi (14/4/24). Shutter healing yang saya lakukan pada tanggal 14 April 2024 merekam suasana sebagian kecil kota Bekasi pada 4 hari setelah hari raya Idul Fitri. Di beberapa sudut jalanan masih terlihat suasa