Langsung ke konten utama

Dilema Pejalan Kaki Di Jakarta

Masyarakat kota-kota besar di Indonesia terkenal dengan masyarakat yang malas berjalan kaki. Beberapa referensi menyebutkan salah satu penyebabnya adalah kurangnya sarana pejalan kaki, misalnya adalah trotoar. Berdasar pengamatan singkat penulis, kota besar seperti Jakarta dan penyangganya memang minim jalur pejalan kaki yang layak, selain itu, jalur pejalan kaki yang sudah dibangun oleh pemerintah kota biasanya tidak cukup lebar, rusak (berpotensi mencelakai penggunanya), diokupasi oleh pengendara motor, dan diokupasi oleh pedagang kaki lima alias PKL serta parkir liar.

Dari bentuk-bentuk trotoar seperti di paragraf atas tersebut jelaslah para pejalan kaki juga akan berpikir dua kali untuk menggunakannya, serta sebagian bahkan akan beralih menjadi pengendara motor, yang kemudian bisa jadi akan mengokupasi trotoar. Sedangkan sebagian para pejalan kaki yang masih setia dengan aktivitasnya akan tersisih dan menyingkir, mencari celah-celah yang dapat dilaluinya diantara pedagang-pedagang kaki lima, parkir liar dan pengendara motor. Walhasil, mereka akan berjalan di bahu jalan sehingga keselamatan para pejalan kaki menjadi terancam, terserempet atau tertabrak kendaraan bermotor. Dengan begini, kegiatan berjalan kaki menjadi penuh teror dan mara bahaya. Sungguh dilema bagi para pejalan kaki.

Apabila negara-negara tetangga yang dibilang lebih kapitalis dan liberal sudah berpikir selangkah lebih maju bagaimana memanjakan warganya untuk berjalan kaki dan meningkatkan jumlah pengguna transportasi umum (dengan transportasi yang mudah dan dapat memuat banyak  orang, dan bukan angkot) serta meminimalkan penggunaan bahan bakar fosil, maka negara ini, terutama kota-kota besar yang merupakan trend setter bagi kota-kota lainnya, pemerintahnya masih belum pernah berpikir seperti kalimat di atas. Ironi memang, dan lebih ironi ketika pemerintah DKI Jakarta akan menggunakan hak diskresi untuk memperbolehkan pedagang kaki lima melapak di trotoar jalan Melawai.

Pihak yang menggunakan hak diskresi tersebut beralasan bahwa para PKL dibutuhkan oleh masyarakat sekitar dan menyelamatkan lapangan pekerjaan sejumlah sekitar 75 orang (merujuk pada pemberitaan di media masa nasional). Oh tidak, bagaimana dengan nasib keselamatan dan kenyamanan para pejalan kaki yang jumlahnya pasti melebihi dari 75 orang PKL tersebut. Ada PKL, pasti preman dan atau parkir liar pun ada, ini Jakarta bung. Sebaiknya hak diskresi dilakukan dengan juga memperhatikan hak masyarakat umum lainnya.

Jika hanya bertujuan berbalas budi dan mencitrakan kebijakan yang pro-kewirausahaan tetapi mengabaikan hak masyarakat lain, maka tidak ada bedanya dengan kapitalis yang kemarin-kemarin sang penggagasnya pernah "berteriak" anti terhadap kapitalis. Sampai kapan Jakarta dapat menjadi kota humanis?

Tulisan ini hanyalah opini penulis semata, dimana sarana pejalan kaki yang baik akan dapat meningkatkan jumlah kegiatan berjalan kaki, serta sebaiknya, menurut penulis, harus diimbangi dengan pembatasan kendaraan bermotor dan peningkatan sarana transportasi umum yang mudah-murah-mampu memuat banyak orang; sehingga penggunaan energi fosil berkurang, tingkat polusi udara menurun dan penyakit metabolisme di masyarakat Jakarta juga menurun.

Salam mlaku-mlaku ^^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shutter Healing #01 : Bersepeda Memotret Suasana Bekasi Sebelum Lebaran

Shutter healing merupakan istilah yang saya ciptakan dimana menekan tombol shutter merupakan salah satu bentuk healing dan aktivitas yang membahagiakan. Bagi saya, ada dua bentuk healing yang paling membahagiakan; yaitu bersepeda dan memotret. Oleh karena itu, memotret dengan menekan tombol shutter disertai dengan bersepeda sudah pasti meningkatkan gairah kebahagiaan saya. Shutter healing episode 01 ini dilakukan di kota Bekasi dengan bersepeda menggunakan sepeda lipat keliling kota Bekasi. Kenapa sepeda lipat?, karena ada suasana santai saat bersepeda dengan sepeda lipat, dimana saya bisa menengok kanan dan kiri. Ketika ada sesuatu yang bagus dan unik, ambil kamera, bidik, tekan tombol shutter dan "jepret", gambar peristiwa terekam. Beberapa foto telah saya rekam pada episode shutter healing tanggal 9 April 2024. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1, dimana kamera ini sudah berumur sangat tua, pertama release pada tahun 2010. Kamera tua tidak masalah bagi saya,

Pengalaman Pertama Kali Develop Film Black And White

Memotret dengan kamera film atau analog dibutuhkan kesabaran tersendiri, pasalnya setelah selesai memotret, kita tidak bisa melihat gambar hasil jepretan seperti pada kamera digital. Untuk dapat melihat hasil jepretan, fotografer diwajibkan mencuci atau develop film terlebih dahulu untuk selanjutnya dilakukan scan untuk merubah gambar menjadi format digital ataupun langsung dicetak ke dalam kertas foto. Di kesempatan ini, penulis mencoba memotret di kawasan Mutiara Gading Timur, Bekasi, menggunakan kamera Fujica 35 FS dengan film roll Fujifilm Neopan SS ISO 100 yang sudah expired tahun 2007. Fujifilm Neopan SS merupakan film negatif black and white dengan 36 exposure. Setelah menghabiskan 36 frame dalam satu hari, penulis kemudian mencoba untuk melakukan develop film sendiri dan develop film negatif black and white  kali ini merupakan pertama kali yang penulis lakukan. Tiada rotan akar pun jadi, pepatah ini akhirnya terpakai, dimana penulis merubah kamar mandi menjadi kamar gelap.

Shutter Healing #2 : Memotret Bekasi Setelah Lebaran

Shutter healing pada tanggal 14 April 2024 saya lakukan dengan menyusuri kota Bekasi dengan menggunakan sepeda lipat. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1 yang merupakan kamera mirrorless lawas. Beberapa hasil jepretan dalam shutter healing diantaranya adalah : Seorang pengendara motor melewati jalan HM. Joyomartono, kota Bekasi (14/4/24). Suasana di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melaju di Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Seorang pejalan kaki di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melalui Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara kendaraan bermotor melalui Jl. Pengairan dan Jl. Villa Raya, kota Bekasi (14/4/24). Pejalan kaki melalui Jl. Ahmad Yani, kota Bekasi (14/4/24). Shutter healing yang saya lakukan pada tanggal 14 April 2024 merekam suasana sebagian kecil kota Bekasi pada 4 hari setelah hari raya Idul Fitri. Di beberapa sudut jalanan masih terlihat suasa