Langsung ke konten utama

Berpikir Terbuka Ala Fotografer Fotografi Jalanan (Street Photography)

"Lha kok jaman semakin maju, tapi pikiran banyak yang nyempit ya", begitulah kira-kira ungkap seorang rekan beberapa bulan lalu. 

"Kurang piknik", barangkali ungkapan anak muda jaman sekarang yang pantas untuk menyikapi kondisi saat ini, yang sedang menjangkiti manusia-manusia Indonesia, baik tua maupun muda. Namun, menurut hemat penulis, bukanlah "kurang piknik", ungkapan yang tepat dalam menyikapi kondisi tersebut, karena mungkin mereka-mereka yang berpikir menyempit justru lebih sering "piknik" daripada mereka-mereka yang berpikir meluas.

Menurut hemat penulis, ungkapan yang tepat adalah kurangnya keinginan berpikir kritis dan ketidakmampuan atau pun kurangnya keinginan berpikir terbuka. Mereka yang pemikirannya menyempit biasanya ditandai oleh gejala mudahnya menerima suatu kabar burung yang entah kebenarannya dan akan meyakininya sampai sepenuh hati, bahkan akan dimanisfestasikan ke dalam tata perilakunya sehari-hari. Biasanya mereka-mereka yang terjangkiti "penyakit" ini selalu merasa kehidupan di jaman ini adalah sebuah kesalahan besar, bahkan mungkin bisa menyalah-nyalahkan sesuatu di sekitarnya, entah itu sistem, tatanan ataupun orang-per orang.

Lucu memang, padahal apa yang diyakininya benar belum tentu benar. Mereka yang terjangkit "penyakit" ini adalah mereka yang hidup hanya dengan satu kerangka pikir, saklek, dan mereka ini terjebak pada kerangka pikirnya sendiri. Padahal banyak kerangka pikir yang di luar sana yang akan dapat membentuk manusia pengisi jaman. 

Mari belajar berpikiran terbuka dari fotografer fotografi jalanan (street photography) atau mari kita berpikir terbuka ala fotografer jalanan. Fotografi jalanan atau street photography merupakan salah satu genre fotografi. Street photography ini sekilas mirip-mirip dengan documentary photography dan Photojournalistic. Menurut Erik Prasetya dalam buku On Street Photography, perbedaan dari ketiga genre fotografi tersebut diantaranya adalah; documentary photography dicirikan oleh kebolehan menyeting/menyutradarai suatu aktivitas fotografi, mengutamakan kelengkapan informasi, bersifat obyektif, dan tidak mengutamakan estetika. Photojournalistic atau fotojurnalistik dicirikan oleh adanya tegangan tinggi dalam setiap fotonya, ada peristiwa penting atau dramatis, dan mengharuskan elemen yang kuat atau dramatis; fotojurnalistik ini dapat kita temui contohnya di surat kabar atau majalah. Sedangkan street photography dicirikan oleh adanya aktivitas menangkap keaslian suasana/emosi suatu ruang publik (biasanya dilakukan secara candid), tidak mengutamakan kelengkapan informasi, mengutamakan estetika, memiliki tegangan yang rendah, merekam peristiwa sehari-hari (banal), elemen bisa lemah atau tidak dramatis tetapi membangun suatu komposisi visual. 

Dan juga dalam street photography, kita harus ingat bahwa kita adalah manusia dan yang kita rekam adalah subyek, bukan obyek. Konsep ini menurut hemat penulis seperti, memanusiakan manusia dan jadilah manusia seutuhnya terlebih dahulu sebelum memilih atau menjadi "ini itu". Selain itu, dalam street photography, sang fotografer akan selalu berangkat dengan banyak kerangka pikir. Sehingga banyaknya kerangka pikir tersebut tidak menutup adanya ketakterdugaan. Dalam buku On Street Photography, Erik Prasetya juga menyatakan bahwa semua kerangka pikir yang diambil oleh fotografer street photography  bukanlah batasan, melainkan alat bantu, dan selalu ada kemungkinan-kemungkinan lain.

Inilah pelajaran dari sebuah fotografer street photography yang dapat kita terapkan pada kehidupan kita, terutama kita sebagai manusia Indonesia dan bagian dari masyarakat dunia. Jadilah terbuka!


Dua orang pekerja bersiap melakukan kegiatan bongkar muat barang-barang logistik di pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Selasa (24/6/2014).


Terakhir, fotografer street photography sangat perlu tahu banyak dan bersiap bahwa masih banyak lagi yang tidak diketahuinya. Inilah yang pas untuk kita terapkan, selalu belajar banyak dan banyak belajar karena banyak sekali yang tidak kita ketahui.

Salam mlaku-mlaku


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shutter Healing #01 : Bersepeda Memotret Suasana Bekasi Sebelum Lebaran

Shutter healing merupakan istilah yang saya ciptakan dimana menekan tombol shutter merupakan salah satu bentuk healing dan aktivitas yang membahagiakan. Bagi saya, ada dua bentuk healing yang paling membahagiakan; yaitu bersepeda dan memotret. Oleh karena itu, memotret dengan menekan tombol shutter disertai dengan bersepeda sudah pasti meningkatkan gairah kebahagiaan saya. Shutter healing episode 01 ini dilakukan di kota Bekasi dengan bersepeda menggunakan sepeda lipat keliling kota Bekasi. Kenapa sepeda lipat?, karena ada suasana santai saat bersepeda dengan sepeda lipat, dimana saya bisa menengok kanan dan kiri. Ketika ada sesuatu yang bagus dan unik, ambil kamera, bidik, tekan tombol shutter dan "jepret", gambar peristiwa terekam. Beberapa foto telah saya rekam pada episode shutter healing tanggal 9 April 2024. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1, dimana kamera ini sudah berumur sangat tua, pertama release pada tahun 2010. Kamera tua tidak masalah bagi saya,

Pengalaman Pertama Kali Develop Film Black And White

Memotret dengan kamera film atau analog dibutuhkan kesabaran tersendiri, pasalnya setelah selesai memotret, kita tidak bisa melihat gambar hasil jepretan seperti pada kamera digital. Untuk dapat melihat hasil jepretan, fotografer diwajibkan mencuci atau develop film terlebih dahulu untuk selanjutnya dilakukan scan untuk merubah gambar menjadi format digital ataupun langsung dicetak ke dalam kertas foto. Di kesempatan ini, penulis mencoba memotret di kawasan Mutiara Gading Timur, Bekasi, menggunakan kamera Fujica 35 FS dengan film roll Fujifilm Neopan SS ISO 100 yang sudah expired tahun 2007. Fujifilm Neopan SS merupakan film negatif black and white dengan 36 exposure. Setelah menghabiskan 36 frame dalam satu hari, penulis kemudian mencoba untuk melakukan develop film sendiri dan develop film negatif black and white  kali ini merupakan pertama kali yang penulis lakukan. Tiada rotan akar pun jadi, pepatah ini akhirnya terpakai, dimana penulis merubah kamar mandi menjadi kamar gelap.

Shutter Healing #2 : Memotret Bekasi Setelah Lebaran

Shutter healing pada tanggal 14 April 2024 saya lakukan dengan menyusuri kota Bekasi dengan menggunakan sepeda lipat. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1 yang merupakan kamera mirrorless lawas. Beberapa hasil jepretan dalam shutter healing diantaranya adalah : Seorang pengendara motor melewati jalan HM. Joyomartono, kota Bekasi (14/4/24). Suasana di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melaju di Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Seorang pejalan kaki di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melalui Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara kendaraan bermotor melalui Jl. Pengairan dan Jl. Villa Raya, kota Bekasi (14/4/24). Pejalan kaki melalui Jl. Ahmad Yani, kota Bekasi (14/4/24). Shutter healing yang saya lakukan pada tanggal 14 April 2024 merekam suasana sebagian kecil kota Bekasi pada 4 hari setelah hari raya Idul Fitri. Di beberapa sudut jalanan masih terlihat suasa