Langsung ke konten utama

Kita Telah Meng-Indonesia

Indonesia, tentu kita sudah sangat-sangat familiar ketika mendengar dan melihat kata tersebut, dimanapun itu. Tidak lain karena kita memang kebetulan lahir dan hidup di negeri yang bernama Indonesia. Kita yang kebetulan lahir dan hidup di negeri yang terdiri dari lima pulau besar dan ribuan pulau lainnya serta di antara samudera Pasifik dan Hindia ini telah bersepakat pada tahun 1945 untuk meng-Indonesia secara formal dan legal di mata dunia, meskipun beberapa pihak ada yang menyebut baru pada tahun 1949 kita di-Indonesia-kan. Tidak masalah tahun berapa kita meng-Indonesia secara legal, karena juga ada selepas tahun 1949 yang secara formal dan legal meng-Indonesia.

Dalam tulisan ini tidak akan diuraikan sejarah seperti itu, karena memang penulis bukan ahli atau pun pengamat sejarah. Namun, penulis ingin menitik beratkan mengenai meng-Indonesia menurut pemahaman penulis yang masih kurang ilmu ini. Indonesia yang saat ini terhampar dari Sabang sampai Merauke, dengan ibukota Jakarta merupakan hasil kesepakatan semua penhuni wilayah nusantara yang saat ini bernama Republik Indonesia. Semua dan semua, terlepas dari apakah suku, agama, atau ras-nya. Meskipun sebelum tahun 1945, sudah terdapat kesadaran meng-Indonesia. 

Indonesia adalah melting point dari ras-ras manusia yang ada di planet bumi ini, perkumpulan ras-ras tersebut yang mendiami suatu wilayah tertentu kemudian bersepakat mengembangkan kebudayaannya sendiri sesuai dengan letak geografisnya, jadilah sebuah suku, begitu pula perkumpulan ras-ras lainnya di lokasi lainnya, dan kemungkinan kondisi ini berlangsung selama ribuan tahun. Bahkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, analisis DNA menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia saat ini yang menyebut diri sebagai orang Indonesia memiliki gen campuran dari beragam ras di planet bumi ini. Jadi menurut sains, tidak ada pemilik gen murni Indonesia atau nusantara. Jadi nyatanya kita semua yang mengaku sebagai orang Indonesia adalah berasal dari nenek moyang imigran dari beragam lokasi di planet ini. Boleh dibilang, kita semua adalah imigran.

Indonesia adalah melting point beribu-ribu tahun lalu, dan uniknya setiap pulau mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau lainnya, bahkan dalam satu pulau pun terdapat budaya yang berbeda-beda. Unik dan sangat unik, uniknya lagi kelompok (yang kemudian kita sebut suku dan etnis) yang berbeda-beda tersebut menyerahkan perbedaannya untuk menjadi satu kesatuan membentuk suatu bangsa, dan mereka rela dan ikhlas disebut sebagai bangsa Indonesia serta menyerahkan segala ego kelompoknya untuk membangun peradaban dalam suatu wadah bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Umbul-umbul merah putih di sekitar Monumen Nasional atau monas untuk memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-69, Jakarta, Sabtu (16/8/2014).

Saat ini, sudah 72 tahun, NKRI masih utuh dan masih terdiri dari suku dan etnis bahkan agama dan kepercayaan yang beragam. Suatu anugerah yang luar biasa bagi kita semua, karena sampai saat ini kita masih dapat merasakan uniknya perbedaan budaya dan tradisi di setiap lokasi di wilayah NKRI. Dalam sektor pariwisata, kondisi ini patut lah digarap dengan sangat serius, karena banyak masyarakat luar negeri yang ingin menyaksikan keanekaragaman budaya ini, bahkan seorang kawan dari Vietnam pernah berujar ketika berkunjung ke Jakarta di tengah kesibukannya, alasannya menyempatkan berkunjung ke Indonesia adalah ingin menyaksikan keanekaragaman budaya dan keharmonisan kehidupan masyarakat yang menurutnya tidak terkotak-kotakkan oleh sekat suku, agama dan ras. 

Indonesia mungkin menjadi negara model persatuan dalam keanekaragaman di planet bumi ini. Banyak teman dari luar yang menanyakan bagaimana nasib Indonesia ketika menyaksikan berita di media mengenai gesekan-gesekan yang muncul akhir-akhir ini. Menurut penulis, banyak masyarakat luar yang merasa khawatir apabila keanekaragaman budaya, tradisi dan bahkan biodiversitas menjadi musnah di tengah menguatnya politik identitas akhir-akhir ini. Semoga Indonesia tetap berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semua elemen baik pemerintah maupun masyarakatnya tetap bersemangatkan tradisi dan budaya yang beraneka ragam tersebut. 

Salam mlaku-mlaku

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shutter Healing #01 : Bersepeda Memotret Suasana Bekasi Sebelum Lebaran

Shutter healing merupakan istilah yang saya ciptakan dimana menekan tombol shutter merupakan salah satu bentuk healing dan aktivitas yang membahagiakan. Bagi saya, ada dua bentuk healing yang paling membahagiakan; yaitu bersepeda dan memotret. Oleh karena itu, memotret dengan menekan tombol shutter disertai dengan bersepeda sudah pasti meningkatkan gairah kebahagiaan saya. Shutter healing episode 01 ini dilakukan di kota Bekasi dengan bersepeda menggunakan sepeda lipat keliling kota Bekasi. Kenapa sepeda lipat?, karena ada suasana santai saat bersepeda dengan sepeda lipat, dimana saya bisa menengok kanan dan kiri. Ketika ada sesuatu yang bagus dan unik, ambil kamera, bidik, tekan tombol shutter dan "jepret", gambar peristiwa terekam. Beberapa foto telah saya rekam pada episode shutter healing tanggal 9 April 2024. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1, dimana kamera ini sudah berumur sangat tua, pertama release pada tahun 2010. Kamera tua tidak masalah bagi saya,

Pengalaman Pertama Kali Develop Film Black And White

Memotret dengan kamera film atau analog dibutuhkan kesabaran tersendiri, pasalnya setelah selesai memotret, kita tidak bisa melihat gambar hasil jepretan seperti pada kamera digital. Untuk dapat melihat hasil jepretan, fotografer diwajibkan mencuci atau develop film terlebih dahulu untuk selanjutnya dilakukan scan untuk merubah gambar menjadi format digital ataupun langsung dicetak ke dalam kertas foto. Di kesempatan ini, penulis mencoba memotret di kawasan Mutiara Gading Timur, Bekasi, menggunakan kamera Fujica 35 FS dengan film roll Fujifilm Neopan SS ISO 100 yang sudah expired tahun 2007. Fujifilm Neopan SS merupakan film negatif black and white dengan 36 exposure. Setelah menghabiskan 36 frame dalam satu hari, penulis kemudian mencoba untuk melakukan develop film sendiri dan develop film negatif black and white  kali ini merupakan pertama kali yang penulis lakukan. Tiada rotan akar pun jadi, pepatah ini akhirnya terpakai, dimana penulis merubah kamar mandi menjadi kamar gelap.

Shutter Healing #2 : Memotret Bekasi Setelah Lebaran

Shutter healing pada tanggal 14 April 2024 saya lakukan dengan menyusuri kota Bekasi dengan menggunakan sepeda lipat. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1 yang merupakan kamera mirrorless lawas. Beberapa hasil jepretan dalam shutter healing diantaranya adalah : Seorang pengendara motor melewati jalan HM. Joyomartono, kota Bekasi (14/4/24). Suasana di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melaju di Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Seorang pejalan kaki di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melalui Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara kendaraan bermotor melalui Jl. Pengairan dan Jl. Villa Raya, kota Bekasi (14/4/24). Pejalan kaki melalui Jl. Ahmad Yani, kota Bekasi (14/4/24). Shutter healing yang saya lakukan pada tanggal 14 April 2024 merekam suasana sebagian kecil kota Bekasi pada 4 hari setelah hari raya Idul Fitri. Di beberapa sudut jalanan masih terlihat suasa