Langsung ke konten utama

Jalur Pedestrian dan Pejalan Kaki

Suasana hari bebas kendaraan bermotor di Minggu pagi di sepanjang Jalan M.H. Thamrin, Jakarta (14/12/2014).

Beberapa waktu lalu, penelitian yang dilakukan oleh salah satu universitas di Amerika Serikat berdasarkan rerata jumlah lagkah kaki harian dari aplikasi penghitung langkah di smartphone memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki aktivitas fisik (jalan kaki) yang paling rendah dari negara-negara lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia malas berjalan kaki. Menurut Koalisi Pejalan Kaki, kondisi ini lebih disebabkan oleh fasilitas pejalan kaki atau pedestrian seperti trotoar yang kurang memadai kemudian kebijakan mudanya memiliki kendaraan bermotor di negeri ini. Sedangkan berjalan kaki, menurut Koalisi Pejalan Kaki, merupakan salah satu budaya negeri ini, tetapi saat ini perlahan dihilangkan.

Dihilangkan oleh siapa?, menurut hemat penulis, dihilangkan oleh penentu kebijakan dan kita sendiri sebagai masyarakat. Misalnya fasilitas pedestrian yang tidak memadai dan kegiatan kita sebagai masyarakat yang penulis katakan sebagai kegiatan "manja" karena kita terbiasa menggunakan kendaraan bermotor padahal jarak yang akan kita tuju tidaklah jauh. 

Menurut hemat penulis, jalur pedestrian atau jalur pejalan kaki dengan luasan yang memadai dan terdapat di setiap tepi jalan di suatu kota serta terbebas dari gangguan (pedagang kaki lima, parkir liar dan sepeda motor yang menerobos) merupakan salah satu dari kota yang beradab atau berperadapaban tinggi, apalagi jika ditambah dengan kesadaran dan budaya masyarakatnya yang berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum, maka penulis dapat mengatakan bahwa kota tersebut adalah kota yang sangat beradab.

Lantas apakah kota-kota di Indonesia sudah menjadi kota yang beradab?, karena penulis bukan ahli di bidang tata kota, maka penulis tidak bisa menjelaskan berdasarkan data-data. Namun, berdasarkan perjalanan yang pernah penulis lakukan, kota besar di negeri ini belum lah beradab (subyektif penulis) atau denga kata lain, jalur pedestrian di kota-kota tersebut belum lah sepenuhnya ramah pejalan kaki. 

Kota Surabaya mungkin bisa dibilang lebih baik dalam jalur pedestrian daripada DKI Jakarta. Lantas apakah kedepannya jalur-jalur pedestrian dapat lebih berkembang lagi di kota-kota besar Indonesia?, entahlah, tetapi penulis agak pesimis dengan hal tersebut, lantaran mudahnya kepemilikan kendaraan pribadi seperti motor dan mobil menjadikan kita berpikir lagi bahwa kita sudah tidak butuh lagi jalur pedestrian, selain itu pemerintah daerah yang berkala berganti dengan ego-nya masing-masing menjadikan kebijakan pro-pejalan kaki hanya akan menjadi angan-angan saja.

Penulis agak kaget ketika mendengar ada petinggi yang menyatakan bahwa pejalan kaki merupakan salah satu penyebab kemacetan di salah satu titik di kota Jakarta. Kaget bercampur kaget setengah mati, pernyataan seperti ini menurut penulis sangatlah tidak mendidik di tengah ancaman hilangnya budaya jalan kaki masyarakat kota besar. Akar masalah utama terdapat di titik lain, dan pejalan kaki seperti pernyataan si petinggi adalah efek dari akar masalah utama. Namun, harapan penulis, semoga pernyataan tersebut hanyalah sarapan pagi saja, karena masih terdapat makan siang dan makan malam, bahkan masih terdapat cemilan lain.

Berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum haruslah kita galakkan, karena banyak manfaat yang dapat kita petik. Penghematan bahan bakar fosil dan pengurangan polusi udara merupakan salah satu manfaat langsung yang dapat dicapai. Selain itu, pariwisata suatu kota akan dapat terangkat baik langsung atau tidak langsung dengan semakin manusiawinya jalur pedestrian. Semoga saja pemerintah daerah yang berkala berganti dapat menurunkan ego pribadinya, sehingga kebijakan yang seperti diuraikan di atas dapat dikembangkan, bukannya dilupakan dan ditiadakan, semoga.

Salam mlaku-mlaku

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shutter Healing #01 : Bersepeda Memotret Suasana Bekasi Sebelum Lebaran

Shutter healing merupakan istilah yang saya ciptakan dimana menekan tombol shutter merupakan salah satu bentuk healing dan aktivitas yang membahagiakan. Bagi saya, ada dua bentuk healing yang paling membahagiakan; yaitu bersepeda dan memotret. Oleh karena itu, memotret dengan menekan tombol shutter disertai dengan bersepeda sudah pasti meningkatkan gairah kebahagiaan saya. Shutter healing episode 01 ini dilakukan di kota Bekasi dengan bersepeda menggunakan sepeda lipat keliling kota Bekasi. Kenapa sepeda lipat?, karena ada suasana santai saat bersepeda dengan sepeda lipat, dimana saya bisa menengok kanan dan kiri. Ketika ada sesuatu yang bagus dan unik, ambil kamera, bidik, tekan tombol shutter dan "jepret", gambar peristiwa terekam. Beberapa foto telah saya rekam pada episode shutter healing tanggal 9 April 2024. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1, dimana kamera ini sudah berumur sangat tua, pertama release pada tahun 2010. Kamera tua tidak masalah bagi saya,

Pengalaman Pertama Kali Develop Film Black And White

Memotret dengan kamera film atau analog dibutuhkan kesabaran tersendiri, pasalnya setelah selesai memotret, kita tidak bisa melihat gambar hasil jepretan seperti pada kamera digital. Untuk dapat melihat hasil jepretan, fotografer diwajibkan mencuci atau develop film terlebih dahulu untuk selanjutnya dilakukan scan untuk merubah gambar menjadi format digital ataupun langsung dicetak ke dalam kertas foto. Di kesempatan ini, penulis mencoba memotret di kawasan Mutiara Gading Timur, Bekasi, menggunakan kamera Fujica 35 FS dengan film roll Fujifilm Neopan SS ISO 100 yang sudah expired tahun 2007. Fujifilm Neopan SS merupakan film negatif black and white dengan 36 exposure. Setelah menghabiskan 36 frame dalam satu hari, penulis kemudian mencoba untuk melakukan develop film sendiri dan develop film negatif black and white  kali ini merupakan pertama kali yang penulis lakukan. Tiada rotan akar pun jadi, pepatah ini akhirnya terpakai, dimana penulis merubah kamar mandi menjadi kamar gelap.

Shutter Healing #2 : Memotret Bekasi Setelah Lebaran

Shutter healing pada tanggal 14 April 2024 saya lakukan dengan menyusuri kota Bekasi dengan menggunakan sepeda lipat. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1 yang merupakan kamera mirrorless lawas. Beberapa hasil jepretan dalam shutter healing diantaranya adalah : Seorang pengendara motor melewati jalan HM. Joyomartono, kota Bekasi (14/4/24). Suasana di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melaju di Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Seorang pejalan kaki di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melalui Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara kendaraan bermotor melalui Jl. Pengairan dan Jl. Villa Raya, kota Bekasi (14/4/24). Pejalan kaki melalui Jl. Ahmad Yani, kota Bekasi (14/4/24). Shutter healing yang saya lakukan pada tanggal 14 April 2024 merekam suasana sebagian kecil kota Bekasi pada 4 hari setelah hari raya Idul Fitri. Di beberapa sudut jalanan masih terlihat suasa