Langsung ke konten utama

Kedinamisan Megapolitan Yang Berlebih

Kota besar, seperti Jakarta dan kota penyangga sekitarnya atau sering disebut megapolitan ibarat gula. Jika ada pepatah yang mengatakan "ada gula ada semut", tidak berlaku pada megapolitan Jakarta sebagai "gula".

Lho kenapa?

Dalam kondisi ini, pepatah tersebut menurut opini penulis tidak berlaku, hehe, lantaran jika megapolitan Jakarta sebagai gula, tidak hanya semut yang datang, melainkan serangga-serangga lain, bahkan lalat sering juga datang. 

Lantas apa maksudnya?

Maksudnya ya di megapolitan ini pada akhirnya menjadi "heterogen", ada yang begini dan ada yang begitu, ada yang sikut-sikutan, hingga membentuk warna tersendiri. Bahkan menurut penulis, warna-warni tersebut kadang tidak bisa ditebak. Bisa dibilang terlalu dinamis, hehehe.

Ini penulis ngomong apa sebenarnya?

Eh iya, masih pagi, jadi nulisnya kesana kemari. Intinya adalah betapa "semrawut" megapolitan Jakarta ini. Meskipun "semrawut", tetap dicintai oleh masyarakat yang mencintai. Selain itu, inilah tempat sumbernya uang, serta katanya segala bentuk kesenangan bisa diperoleh di sini.

Masyarakat kota dengan segala bentuk kedinamisannya telah bergerak menjauhi apa yang dinamakan keharmonisan dan keselarasan dengan alam sekitar. Bahkan menurut sebagian, mungkin sebagian kecil masyarakat, kota seperti megapolitan Jakarta bukanlah gula lagi, tapi berubah menjadi sebentuk serigala berbulu domba.

Selain itu, banyak masyarakat kota yang hanya berpikiran kota sentris. Menurut hemat penulis, ini yang bisa berbahaya bagi keberlanjutan kehidupan di negeri ini, tidak ada toleransi terhadap keselarasan bersama "alam". Tiba-tiba jadi ingat ketika jaman kuliah dahulu, sewaktu mata kuliah Pengantar Ilmu Pertanian sekitar dua belas tahun lalu, seorang dosen mengabarkan bahwa kenapa kita tidak menjadi masyarakat petani di desa jauh dari kota tetapi dengan jangkauan global. Ini lah yang bagus, masyarakat desa dengan pola pikir global. Sungguh menakjubkan.

Bahkan menurut seorang teman berdarah campuran antara India-Bhutan yang waktu itu kalau tidak salah tinggal di kota Tashigang, Bhutan, pernah berseloroh bahwa megapolitan ini bukanlah tempat yang menyenangkan lagi, berkemas dan tinggal lah di Bhutan. Ya, Bhutan merupakan salah satu negara yang tidak se-semrawut seperti Indonesia. Tampaknya memang ekstrem tetapi menarik untuk dipikirkan oleh mereka yang merasa megapolitan terlalu berjalan cepat dan aneh.

Tampaknya beliau ini tergolong manusia yang menghindari kedinamisan berlebih dari suatu kota seperti megapolitan Jakarta ini. Berapa persenkah masyarakat megapolitan Jakarta atau pun negeri ini yang berpikiran seperti beliau; entahlah. Namun, terkadang kedinamisan berlebih dari megapolitan Jakarta tampaknya menyenangkan untuk ditangkap oleh kamera. Berjalan menyusuri koridor-koridor megapolitan sambil menenteng kamera merupakan salah satu hal yang menyenangkan meskipun kadang perasaan bercampur aduk. Siapa tahu hasil rekam foto tersebut bermanfaat untuk perubahan sosial budaya dan pola pikir masyarakat kota untuk menjadi lebih meluas.

Salam mlaku-mlaku

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shutter Healing #01 : Bersepeda Memotret Suasana Bekasi Sebelum Lebaran

Shutter healing merupakan istilah yang saya ciptakan dimana menekan tombol shutter merupakan salah satu bentuk healing dan aktivitas yang membahagiakan. Bagi saya, ada dua bentuk healing yang paling membahagiakan; yaitu bersepeda dan memotret. Oleh karena itu, memotret dengan menekan tombol shutter disertai dengan bersepeda sudah pasti meningkatkan gairah kebahagiaan saya. Shutter healing episode 01 ini dilakukan di kota Bekasi dengan bersepeda menggunakan sepeda lipat keliling kota Bekasi. Kenapa sepeda lipat?, karena ada suasana santai saat bersepeda dengan sepeda lipat, dimana saya bisa menengok kanan dan kiri. Ketika ada sesuatu yang bagus dan unik, ambil kamera, bidik, tekan tombol shutter dan "jepret", gambar peristiwa terekam. Beberapa foto telah saya rekam pada episode shutter healing tanggal 9 April 2024. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1, dimana kamera ini sudah berumur sangat tua, pertama release pada tahun 2010. Kamera tua tidak masalah bagi saya,

Pengalaman Pertama Kali Develop Film Black And White

Memotret dengan kamera film atau analog dibutuhkan kesabaran tersendiri, pasalnya setelah selesai memotret, kita tidak bisa melihat gambar hasil jepretan seperti pada kamera digital. Untuk dapat melihat hasil jepretan, fotografer diwajibkan mencuci atau develop film terlebih dahulu untuk selanjutnya dilakukan scan untuk merubah gambar menjadi format digital ataupun langsung dicetak ke dalam kertas foto. Di kesempatan ini, penulis mencoba memotret di kawasan Mutiara Gading Timur, Bekasi, menggunakan kamera Fujica 35 FS dengan film roll Fujifilm Neopan SS ISO 100 yang sudah expired tahun 2007. Fujifilm Neopan SS merupakan film negatif black and white dengan 36 exposure. Setelah menghabiskan 36 frame dalam satu hari, penulis kemudian mencoba untuk melakukan develop film sendiri dan develop film negatif black and white  kali ini merupakan pertama kali yang penulis lakukan. Tiada rotan akar pun jadi, pepatah ini akhirnya terpakai, dimana penulis merubah kamar mandi menjadi kamar gelap.

Shutter Healing #2 : Memotret Bekasi Setelah Lebaran

Shutter healing pada tanggal 14 April 2024 saya lakukan dengan menyusuri kota Bekasi dengan menggunakan sepeda lipat. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1 yang merupakan kamera mirrorless lawas. Beberapa hasil jepretan dalam shutter healing diantaranya adalah : Seorang pengendara motor melewati jalan HM. Joyomartono, kota Bekasi (14/4/24). Suasana di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melaju di Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Seorang pejalan kaki di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melalui Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara kendaraan bermotor melalui Jl. Pengairan dan Jl. Villa Raya, kota Bekasi (14/4/24). Pejalan kaki melalui Jl. Ahmad Yani, kota Bekasi (14/4/24). Shutter healing yang saya lakukan pada tanggal 14 April 2024 merekam suasana sebagian kecil kota Bekasi pada 4 hari setelah hari raya Idul Fitri. Di beberapa sudut jalanan masih terlihat suasa