Langsung ke konten utama

Perjalanan Sore Yang Tidak Biasa

Bus kota Mayasari Bakti waktu itu tiba di sekitar pintu tol Bekasi Timur sekitar pukul 17.40. Di kaca depan tertulis jurusan Tanah Abang - Bekasi (Tol Bekasi Timur). Tidak perlu pikir panjang, langsung saja dengan gembiranya segera menuju pintu tengah bus yang baru saja dibuka oleh kernetnya (karena tipe bus dengan pintu di tengah, tampaknya armada baru). Ya, karena punya tujuan ke Bendungan Hilir, maka bus jurusan inilah pilihan yang sangat tepat. Seperti biasa lagi, jumlah penumpangnya pun sangat sedikit, bisa dihitung dengan jari. Sering terbersit mengenai bagaimana perusahaan bus tersebut bisa untung dengan jumlah penumpang yang super sedikit, hehe.

Seperti biasa, setelah memasuki pintu tol Bekasi Timur, terhampar begitu macetnya tol menuju kota Jakarta waktu itu. Suasana dalam bus juga seperti biasa atau dalam artian tidak ada yang berubah, membosankan, tidur pun terasa tidak enak karena jok kursi terasa lebih keras (mungkin karena armada baru). Bus dengan santainya berjalan di lajur kiri dan lebih sering memanfaatkan bahu jalan, sesekali menyalip kendaraan di depannya yang notabene mayoritas didominasi oleh truk, hanya sesekali dua kali saja, tampaknya si pengemudi memilih lambat atau mungkin punya prinsip "alon-alon asal kelakon", entahlah. 

Baru setelah melewati gerbang tol Cikunir, bus ini terlihat garangnya, mungkin karena volume kendaraan sudah terbagi ke tol Cikunir sehingga kendaraan yang menuju ke Jakarta menjadi berkurang. Tidak lama bus ini tiba di Jatibening, seperti biasa bus ini mencari penumpang dan yang lebih penting adalah pemeriksaan oleh petugas Mayasari Bakti (mungkin terkait laporan jumlah penumpang).

Seperti biasa lagi, di Jatibening ini hanya pedagang asongan, beberapa penumpang, dan pengamen yang memasuki bus. Namun, yang membedakan dari hari-hari sebelumnya adalah keberadaan dua orang penumpang ibu-ibu. Dengan logat Ambon (Maluku), kedua ibu berbincang dengan suara yang kadang meninggi disertai candaan sambil menaiki bus. Kedua ibu tersebut pun akhirnya memilih duduk di deretan kursi seberang pintu tengah bus. Dari awal masuk sampai beberapa saat sebelum bus melaju di tol kembali, obrolan kedua ibu tersebut semakin bertambah seru kadang bercampur antara bahasa Indonesia dan Ambon.

"Tiga ratus ketupat untuk orang Ambon sama dengan enam ratus untuk orang Jawa.", ujar salah satu ibu dari kedua ibu tersebut.

Pesan yang dapat ditangkap dari beberapa obrolan, mungkin mereka berdua sedang akan mengadakan acara pesta. Ketika bus melaju di jalan tol, dengan segera pengamen yang sebenarnya sejak tadi naik dari Jatibening "melancarkan" aksinya. Dari arah kursi belakang, dengan sapaan sopan kepada para penumpang bus, si pengamen menuju bagian tengah bus, lalu berdiri tepat di koridor samping tempat duduk kedua ibu tersebut. Lagu-lagu "jadul" atau jaman dulu pun dilantunkan dengan suara merdunya. Sangat berbeda dengan pengamen-pengamen lainnya yang biasanya hanya asal nyanyi dan asal dapat uang.

Yang unik, kedua ibu itu pun mengikuti lagu demi lagu yang dilantunkan si pengamen. Wow, interaksi antara pengamen dan kedua ibu tersebut menjadikan bus serasa menjadi ruang karaoke atau mungkin tempat konser, hehe. 

Sampai bus menjejak di gerbang tol Halim, si pengamen dan kedua ibu tersebut malah semakin menjadi, saling memberi umpan-balik. Beberapa penumpang hanya senyum-senyum melihat aksi mereka bertiga, bahkan mata yang tadinya ingin sedikit terpejam, akhirnya terjaga juga. Suasana yang berbeda dan sangat hidup, hehe.

Ketika si pengamen ingin mengakhiri "aksinya", ,si ibu masih memintanya untuk melantunkan beberapa tembang lagi sampai bus melaju di tol dalam kota. Tambah asyik dan hiburan sore menjelang malam ketika arus lalu lintas tol dalam kota tidak dapat diharapkan alias macet. Setelah bus menjejakkan keempat rodanya di sekitar Cawang-Tebet, si pengamen akhirnya mengakhiri lantunan tembangnya yang merdu. 

Tidak berhenti begitu saja, hubungan si pengamen dan kedua ibu tersebut semakin "dekat" alias si pengamen melontarkan curhatan demi curhatan ke kedua ibu tersebut. Dari obrolan tersebut, ternyata si pengamen yang asli Batak selalu menjaga kualitas menyanyinya karena dia berharap bisa masuk dapur rekaman suatu saat nanti.



Curhatan yang sering disertai candaan dan kalimat-kalimat bijak dari kedua ibu tersebut membuat perjalanan sore itu menjadi semakin berwarna di tengah lamanya waktu perjalanan Bekasi - Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shutter Healing #01 : Bersepeda Memotret Suasana Bekasi Sebelum Lebaran

Shutter healing merupakan istilah yang saya ciptakan dimana menekan tombol shutter merupakan salah satu bentuk healing dan aktivitas yang membahagiakan. Bagi saya, ada dua bentuk healing yang paling membahagiakan; yaitu bersepeda dan memotret. Oleh karena itu, memotret dengan menekan tombol shutter disertai dengan bersepeda sudah pasti meningkatkan gairah kebahagiaan saya. Shutter healing episode 01 ini dilakukan di kota Bekasi dengan bersepeda menggunakan sepeda lipat keliling kota Bekasi. Kenapa sepeda lipat?, karena ada suasana santai saat bersepeda dengan sepeda lipat, dimana saya bisa menengok kanan dan kiri. Ketika ada sesuatu yang bagus dan unik, ambil kamera, bidik, tekan tombol shutter dan "jepret", gambar peristiwa terekam. Beberapa foto telah saya rekam pada episode shutter healing tanggal 9 April 2024. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1, dimana kamera ini sudah berumur sangat tua, pertama release pada tahun 2010. Kamera tua tidak masalah bagi saya,

Pengalaman Pertama Kali Develop Film Black And White

Memotret dengan kamera film atau analog dibutuhkan kesabaran tersendiri, pasalnya setelah selesai memotret, kita tidak bisa melihat gambar hasil jepretan seperti pada kamera digital. Untuk dapat melihat hasil jepretan, fotografer diwajibkan mencuci atau develop film terlebih dahulu untuk selanjutnya dilakukan scan untuk merubah gambar menjadi format digital ataupun langsung dicetak ke dalam kertas foto. Di kesempatan ini, penulis mencoba memotret di kawasan Mutiara Gading Timur, Bekasi, menggunakan kamera Fujica 35 FS dengan film roll Fujifilm Neopan SS ISO 100 yang sudah expired tahun 2007. Fujifilm Neopan SS merupakan film negatif black and white dengan 36 exposure. Setelah menghabiskan 36 frame dalam satu hari, penulis kemudian mencoba untuk melakukan develop film sendiri dan develop film negatif black and white  kali ini merupakan pertama kali yang penulis lakukan. Tiada rotan akar pun jadi, pepatah ini akhirnya terpakai, dimana penulis merubah kamar mandi menjadi kamar gelap.

Shutter Healing #2 : Memotret Bekasi Setelah Lebaran

Shutter healing pada tanggal 14 April 2024 saya lakukan dengan menyusuri kota Bekasi dengan menggunakan sepeda lipat. Kamera yang digunakan adalah Olympus Pen E-PL1 yang merupakan kamera mirrorless lawas. Beberapa hasil jepretan dalam shutter healing diantaranya adalah : Seorang pengendara motor melewati jalan HM. Joyomartono, kota Bekasi (14/4/24). Suasana di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melaju di Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Seorang pejalan kaki di sekitar Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara motor melalui Jl. Insinyur Haji Juanda, kota Bekasi (14/4/24). Pengendara kendaraan bermotor melalui Jl. Pengairan dan Jl. Villa Raya, kota Bekasi (14/4/24). Pejalan kaki melalui Jl. Ahmad Yani, kota Bekasi (14/4/24). Shutter healing yang saya lakukan pada tanggal 14 April 2024 merekam suasana sebagian kecil kota Bekasi pada 4 hari setelah hari raya Idul Fitri. Di beberapa sudut jalanan masih terlihat suasa